Sejarah koperasi di Indonesia
Logo Gerakan
Koperasi Indonesia (1960an-2012)
Sejarah singkat gerakan koperasi
bermula pada abad ke-20 yang pada umumnya merupakan hasil dari usaha yang tidak
spontan dan tidak dilakukan oleh orang-orang yang sangat kaya. Koperasi tumbuh
dari kalangan rakyat, ketika penderitaan dalam lapangan ekonomi dan sosial yang
ditimbulkan oleh sistem kapitalisme semakin memuncak. Beberapa orang
yang penghidupannya sederhana dengan kemampuan ekonomi terbatas, terdorong oleh
penderitaan dan beban ekonomi yang sama, secara spontan mempersatukan diri
untuk menolong dirinya sendiri dan manusia sesamanya.
Pada tahun 1896 seorang Pamong Praja
Patih R.Aria
Wiria Atmaja di Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri
(priyayi). Ia terdorong oleh keinginannya untuk menolong para pegawai yang
makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman
dengan bunga yang tinggi. Maksud Patih tersebut untuk mendirikan koperasi
kredit model seperti di Jerman. Cita-cita semangat tersebut selanjutnya
diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda.
De Wolffvan Westerrode sewaktu cuti berhasil mengunjungi Jerman dan
menganjurkan akan mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang sudah ada
menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian. Selain pegawai negeri
juga para petani perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan
para pengijon.[7]
Ia juga menganjurkan mengubah Bank tersebut menjadi koperasi. Di samping itu ia pun
mendirikan lumbung-lumbung desa yang menganjurkan para petani
menyimpan pada pada musim panen dan memberikan pertolongan pinjaman padi pada musim paceklik. Ia pun berusaha
menjadikan lumbung-lumbung itu menjadi Koperasi Kredit Padi. Tetapi
Pemerintah Belanda pada waktu itu berpendirian lain. Bank Pertolongan, Tabungan
dan Pertanian dan Lumbung Desa tidak dijadikan Koperasi tetapi Pemerintah
Belanda membentuk lumbung-lumbung desa baru, bank –bank Desa , rumah gadai
dan Centrale Kas yang kemudian menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Semua itu adalah
badan usaha Pemerntah dan dipimpin oleh orang-orang Pemerintah.
Pada zaman Belanda pembentuk koperasi belum dapat
terlaksana karena:
1. Belum ada instansi pemerintah ataupun badan non
pemerintah yang memberikan penerangan dan penyuluhan tentang koperasi.
2. Belum ada Undang-Undang yang mengatur kehidupan
koperasi.
3. Pemerintah jajahan sendiri masih ragu-ragu
menganjurkan koperasi karena pertimbangan politik, khawatir koperasi itu akan
digunakan oleh kaum politik untuk tujuan yang membahayakan pemerintah jajahan
itu.
Mengantisipasi perkembangan koperasi
yang sudah mulai memasyarakat, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan
perundangan tentang perkoperasian. Pertama, diterbitkan Peraturan Perkumpulan
Koperasi No. 43, Tahun 1915, lalu pada tahun 1927 dikeluarkan pula Peraturan
No. 91, Tahun 1927, yang mengatur Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi bagi
golongan Bumiputra. Pada tahun 1933, Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan
Peraturan Umum Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi No. 21, Tahun 1933. Peraturan
tahun 1933 itu, hanya diberlakukan bagi golongan yang tunduk kepada tatanan
hukum Barat, sedangkan Peraturan tahun 1927, berlaku bagi golongan Bumiputra.
Diskriminasi pun diberlakukan pada tataran kehidupan berkoperasi.
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang
didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi gerakan koperasi untuk
memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op
de Cooperatieve Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe
Cooperatieve.
Pada tahun 1927 dibentuk Serikat
Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi
pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian pada tahun 1929, berdiri Partai
Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi.
Namun, pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431
sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya. Pada tahun 1942 Jepang
menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya
koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat Jepang untuk
mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli
1947, pergerakan koperasi
di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya.
Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Sekaligus
membentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang
berkedudukan di Tasikmalaya (Bandung sebagai ibukota provinsi sedang diduduki
oleh tentara Belanda).
Fungsi dan peran koperasi Indonesia
Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4
dijelaskan bahwa koperasi memiliki fungsi dan peranan antara lain yaitu
mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, berupaya
mempertinggi kualitas kehidupan manusia, memperkokoh perekonomian rakyat,
mengembangkan perekonomian nasional, serta mengembangkan kreativitas dan jiwa
berorganisasi bagi pelajar bangsa.
Koperasi berlandaskan hukum
Koperasi berbentuk Badan Hukum menurut
Undang-Undang No.12 tahun 1967 adalah [Organisasi]] ekonomi
rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum
koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi
sebagai usaha
bersama, berdasarkan asas kekeluargaan. Kinerja koperasi khusus mengenai
perhimpunan, koperasi harus bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang umum
mengenai organisasi
usaha (perseorangan, persekutuan, dsb.) serta hukum dagang dan hukum pajak.
Kronologis
dan Sejarah tentang Koperasi di Indonesia
A. Sebelum
UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
a. Verordening op de Cooperatieve
Verenigingen (Stb. 431/1915)
Merupakan
regulasi pertama yang berlaku bagi semua golongan penduduk (Pasal 131 IS) yang
ada di Indonesia. Peraturan ini timbul atas adnya kekosongan hukum akan
pengaturan koperasi padahal telah berdiri berbagai bentuk badan hukum koperasi
seperti koperasi E Sieburg, gerakan Budi Utomo, dan Serikat Islam. Definisi
Koperasi pada Regulasi ini adalah, “perkumpulan orang-orang dimana orang-orang
tersebut diperbolehkan untuk keluar masuk sebagai anggota, yang bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran anggotanya, dengan cara bersama-sama menyelenggarakan
suatu system penghidupan atau pekerjaan, atau secara bersama-sama atau secara
bersama-sama menyediakan alat perlengkapan atau bahan-bahan keperluan mereka,
atau secara memberikan uang muka atau kredit”.
Dengan menggunakan asas konkordansi, maka ketentuan yang ada di Belanda dapat dikatakan sama seperti yang tertuang pada Verordening op de Cooperatieve Verenigingen. Sistem yang diberlakukan di Belanda yang ditanam tanpa penyesuaian ternyata malah menyusahkan penduduk golongan III yakni Pribumi. Mereka dalam mendirikan badan usaha koperas harus memiliki prasyarat mulai dari Akta Notaris, akta pendirian berbahasa Belanda, matrai, hingga pengumuman di surat kabar Javasche Courant. Biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha yang ingin membuat koperasi pada saat itu sangatlah besar sehingga Verordening op de Cooperatieve Verenigingen dirasa tidak member manfaat dan ditentang habis-habisan oleh kaum pergerakan nasional.
Dengan menggunakan asas konkordansi, maka ketentuan yang ada di Belanda dapat dikatakan sama seperti yang tertuang pada Verordening op de Cooperatieve Verenigingen. Sistem yang diberlakukan di Belanda yang ditanam tanpa penyesuaian ternyata malah menyusahkan penduduk golongan III yakni Pribumi. Mereka dalam mendirikan badan usaha koperas harus memiliki prasyarat mulai dari Akta Notaris, akta pendirian berbahasa Belanda, matrai, hingga pengumuman di surat kabar Javasche Courant. Biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha yang ingin membuat koperasi pada saat itu sangatlah besar sehingga Verordening op de Cooperatieve Verenigingen dirasa tidak member manfaat dan ditentang habis-habisan oleh kaum pergerakan nasional.
b. Regeling Inlandsche Cooperatieve
Verenigingen (Stb. 91/1927)
Ketika
momentum yang tepat yakni pada saat politik balas budi Belanda baru saja
didengungkan, perjuangan para nasionalis akan keengganan regulasi Verordening
op de Cooperatieve Verenigingen berbuah hasil, dengan keluarnya “Regeling
Inlandsche Cooperatieve Verenigingen”. Sehingga dalam penerapannya Verordening
op de Cooperatieve Verenigingen menjadi untuk Gol. I dan Gol II, sedangkan Regeling
Inlandsche Cooperatieve Verenigingen hanya untuk Gol. III saja. Peraturan
Koperasi ini menundukan pada Hukum Adat dan bukan pada BW ataupun MvK.
Desakan liberalistik dari pasar tanah air atas bentukan Belanda pada saat itu membuat kemudahan demi kemudahan yang ditawarkan oleh Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen tidak berarti dan masih saja membuat koperasi di Indonesia sulit berkembang. Buktinya adalah dari 172 yang tercatat dan 1540 kopersi tidak tercatat makin hari jumlahnya makin menurun karena tidak puas dengan hasil yang dicapai kopersi pada priktiknya.
Desakan liberalistik dari pasar tanah air atas bentukan Belanda pada saat itu membuat kemudahan demi kemudahan yang ditawarkan oleh Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen tidak berarti dan masih saja membuat koperasi di Indonesia sulit berkembang. Buktinya adalah dari 172 yang tercatat dan 1540 kopersi tidak tercatat makin hari jumlahnya makin menurun karena tidak puas dengan hasil yang dicapai kopersi pada priktiknya.
c. Algemene Regeling op de Cooperatieve
Verenigingen (Stb. 108/1933)
Algemene
Regeling op de Cooperatieve Verenigingen, merupakan perubahan dari Verordening
op de Cooperatieve Verenigingen yang berlaku bagi Gol. I, II dan III, namun
disisi lain peraturan Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen untuk Gol.
III masih tetap berlaku. Pada masa ini atas kebijakan penghematan maka
Departemen Ekonomi atas anjuran dari Jawatan Koperasi mendirikan gabungan dari
pusat-pusat koperasi di Hindia Belanda yang dinamakan Moeder Centrale.
Sedangkan usaha menyuntikan dana segar sebesar f-25.000.000 untuk koperasi,
menjadi gagal total dengan keluarnya Ordonantie op Inlandsche Maatshappji op
Aandeelen yang memudahkan pelaku usaha berkembang dengan menggunakan Maskapai
Andil dan bukan Koperasi yang dicanangkan pada saat adanya Algemene Regeling op
de Cooperatieve Verenigingen. Pada kesimpulannya bahwa keberatan-keberatan
untuk pembentukan koperasi yang tadinya ada, sejak Algemene Regeling op de
Cooperatieve Verenigingen sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
d. Regeling Cooperatieve Verenigingen
(Stb. 179/1949)
Regulasi
yang pertama kali dicetuskan sejak kemerdekaan Indonesia ini, timbul karena
krisis yang berkepanjangan mulai dari agresi militer Belanda, hingga
pemberontakan PKI. Regulasi ini mengubah definisi koperasi dengan menambahkan
unsur syarat pendiriannya. Hal ini diluncurkan mengantisipasi Konfrensi Meja
Bundar yang dilaksanakan sebelum Regeling ini dibuat. Pada saat regulasi ini
berlaku banyak hal yang terjadi mulai dengan adanya Kongres Pertama Koperasi
seluruh Indonesia, yang hari 12 Juli 1947 dijadikan sebagai, “Hari Koperasi”,
adanya Bank Koperasi Provinsi, hingga pembekuan oleh Mentri Kehakiman atas
Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen.
e. Undang-Undang Tentang Perkumpulan
Koperasi (UU 79/1958)
Pembuatan UU
yang sangat tergesa-gesa ini dirasakan oleh banyak kalangan saat itu tidak
membawa banyak perubahan. Namun UU yang mencabut Regeling-regeling sebelumnya
tentang koperasi ini, memodifikai prinsip dengan menyerap prinsip koperasi
Rochdale. Definisi Koperasi dalam UU ini disebutkan bahwa koperasi ialah sebuah
perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak
merupakan konsentrasi modal dengan berasaskan kekeluargaan, bertujuan
meningkatkan kesejahteraan anggotanya, mendidik anggotanya, berdasarkan
kesukarelaan, dan dalam pendiriannya harus menggunakan akta yang didaftarkan.
Organisasi koperasi pada saat regulasi ini berlaku dipadandang sebagai alat
perjuangan di bidang ekonomi melawan kapitalisme, dengan berprinsip dengan
tidak mencari keuntungan (non-profit) tetapi mengutamakan pelayanan (service).
Istilah saham yang biasa dikenal di Perseroan Terbatas, ternyata diganti
menjadi “Simpanan Pokok”, yang memiliki fungsi yang lebih sosial yang
mengajarkan kehidupan menabung dan kesedian anggotanya untuk berpartisipasi.
f. Peraturan Pemerintah tentang
Perkembangan Gerakan Koperasi (PP 60/1959)
Peraturan
Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan Koperasi masih mengacu kepada norma
peraturan perundang-undangan diatasnya yakni Undang-Undang 79/1958 Tentang
Perkumpulan Koperasi. PP ini menyodorkan konsep pengaturan lebih lanjut
mengenai tujuan koprasi atas dorongan, bimbingan, perlindungan serta pengawasan
gerakan koprasi yang lebih terjamin secara serentak, tepat guna, berencana, dan
terpimpin. Peralihan menjadi demokrasi Terpimpin menyebabkan koprasi juga harus
menyesuaikan yakni dengan menjabarkan peranan koprasi yakni menyelenggarakan
kegiatan ekonomi, meningkatkan taraf hidup, serta membina dan
mengembangkanswadaya dan daya kreatifrakyat sebagai perwujudan masyarakat
gotong royong.
g. Instruksi Presiden Nomor 2 dan 3
Tahun 1960
Sebagai
peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan
Koperasi, Instruksi Presiden Nomor 2 dan 3 Tahun 1960, mengungkapkan
pembentukan Badan Penggerak Koprasi sebagai wadah tunggal kerjasama antar
jawatan koperasi dan masyarakat. Inpres yang mengatur campur tangan pemerintah
terlalu dalam ini berakibat pada rusaknya mentalitas idiil koprasi dengan
suburnya praktek mencari keuntungan dengan menjual barang-barang karena adanya
kemudahan merendahkan harga kebutuhan pokok jikalau dijual oleh koprasi.
Disisis lain bahwa pendidikan mengenai kopersi meningkat pesat sekali, dengan
memasukkan dalam setiap jenjang pendidikan. Ketentuan Ipres ini jelas-jelas
telah menabrak Pasal 27 ayat (1), dan (2) UUD 1945, dengan adanya pemecatan
atas pegawai yang tidak bisa mengikuti garis-garis besar perkoperasian,
sehingga akibat lebih lanjutnya ialah Muhammad Hatta mengundurkan diri untuk
tidak menjadi Wakil Presiden dan koperasi kehilangan tokohnya yang dudud di
Pemerintahan.
h. Undang-Undang Tentang Pokok-pokok
Perkoperasi (UU 14/1965)
Undang-undang
sebagai pengejahwantahan prinsip nasakom ini mengebiri prinsip koperasi yang
telah ada di Indonesia. Koperasi didefinisikan sebagai organisasi eonomi dan
Alat Revolusi yang berfungsi sebagai tempat persemaian insane masyarakat serta
wahana menuju sosialisme Indonesia beradasarkan Pancasila. Kemudian pengesahan
UU ini pada saat Musyawarah Nasional Koperasi memperlihatkan sensasinya kepada
dunia dengan keluarnya Indonesia dalam keanggotaan di International Coperative
Allliace (ICA).
i.
Undang-Undang
Tentang Pokok-pokok Perkoperasi (UU 12/1967)
Undang-undang
racikan pemerintahan Orde Baru, Soeharto ini mendapatkan tanggapan positif dari
semua perkumpulan koperasi karena kembalinya hakikat koperasi itu sendiri. UU
yang memurnikan asas koperasi yang sejati dan menyingkirkan depolitisasi
koperasi ini secara tegas mencabut UU 14/1965 tentang perkoperasian. Hubungan
baik yang sempat terputus dengan ICA kembali diperbaiki pada berlakunya UU
12/1967. Koperasi didefinisikan sebagai organisasi-organisasi rakyat yang
berwatakkan social, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi
yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Ini merupakan UU pertama yang menjadikan koperasi adalah badan
hukum apabila koperasi tersebut telah menyesuaikan diri dengan UU 12 Tahun
1967.
B. Sesudah
UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
a. UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
Undang-undang
ini hadir atas ketidakjelasan aturan main di lapangan mengenai jati diri,
tujuan, kedudukan, peran, manajemen, keusahaan, permodalan, serta pembinaan
koperasi untuk lebih menjamin terwujudnya kehidupan koperasi sebagaimana
diamanatkan UUD 1945. Pengaturan koperasi sebagai badan hukum semakin jelas
pada definisi koperasi menurut UU 25 Tahun 1992 yakni badan hukum yang
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi serta berdasar pada asas kekeluargaan.
b. UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
Undang-undang yang menyiratkan bahwa
usaha miko, kecil, dan menengah ini secara tegas menyuratkan bahwa pembiayaan
usaha mikro kecil dan menengah, ini bisa didorong melalui koperasi simpan
pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah. Dengan keluarnya UU
ini diharapkan untuk semakin berkembangnya usaha koperasi untuk membiayai usaha
usaha mikro kecil dan menengah sebagaimana pasal 22 UU 20/2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar